Saturday, July 13, 2013
0
Ketika saya masih sangat kecil, Ayah telah memiliki sebuah telepon rumah. Telepon rumah yang kami miliki adalah telepon masa-masa awal, berwarna hitam, ditempelkan di dinding, dan jika kami ingin menelepon maka harus memutar angka-angkanya terlebih dahulu. Selain itu, kami tidak bisa langsung menghubungi orang yang kami tuju, melainkan harus menghubungi operator terleh dahulu, baru setelah itu bisa meminta disambungkan dengan nomer yang ingin kami tuju. Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Awalnya saya tidak mengerti mengenai telepon tersebut, karena pada waktu itu saya masih sangat kecil. Namun beberapa lama kemudian saya mulai mengerti bahwa jika putaran telepon tersebut diputar, maka akan terdengan suara yang ramah dan manis, dan akan mengatakan “Operator”. Sang operator tersebut maha tahu. Ia mengetahu semua nomor telepon orang lain. Ia tahu nomor telepon rumah sakit, restoran, dan bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama saya dengan sang operator berawal ketika tida ada satu orangpun di rumah. Pada waktu itu jempol tangan kanan saya terjepit pintu. Saya berlari kesan kemari sambil berteriak kesakitan, tiba-tiba saya teringat sesuatu. Operator, ya operator!

Segera saya putar bidai pemutar telepon dan menanti suaranya.
"Disini operator."
"Jempol saya kejepit pintu." kata saya sambil menangis.
"Apa ibumu ada di rumah?" tanyanya.
"Tidak ada siap-siapa"
"Apa jempolmu berdarah?"
"Tidak , cuma warnanya merah, dan rasanya sakit sekali"
"Bisakah kamu membuka lemari es?" tanyanya lagi.
"Bisa, naik keatas bangku" jawab saya.
"Ambilah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu."

Sejak peristiwa itu saya selalu menelpon operator jika mebutuhkan bantuan. Saya pernah menanyakan tentang ilmu alam, nama-nama ibu kota negara, matematika, dan bahkan saya bertanya makanan tupai yang saya tangkap untuk dijadikan hewan peliharaan, apakah sayuran atau buah-buahan.

Pada suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya menelpon sang operator dan menceritakan mengenai kabar duka cita ini. Ia mendengarkan dengan baik semua keluhan saya, kemudian mengutarakan kata-kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Namun itu semua belum cukup untuk menenangkan saya.
Kemudian saya berta, "Kenapa burung yang pandai menyanyi dan memberikan rasa sukacita, sekarang tergeletak tak bergerak dikandangnya?"
Sang operator menjawab dengan lembut, "Karena sekarang ini ia sedang menyanyi di dunia yang lain."
Kata-kata sang operator tersebut ternyata mampu menenagkan dan meredakan air mata saya pada waktu itu.

Suatu hari saya menelpon dia lagi.
"Disini operator"
"Bagaimanakah cara mengeja kata kukuruyuk?" tanya saya tanpa basa basi.
Sang perator menjawab dengan nada ceria.
Peristiwa ini terus berlanjut sampai usia saya menginjak 9 tahun.

Pada usia 10 tahun, kami sekeluarga kemudian pindah ke kota lain. Saya sangat merasa kehilangan suara lembut sang operator yang selalu mengatakan "Disini operator". Betapa sabarnya wanita itu. Betapa penuh pengertian, kasih sayang, dan mau meladeni anak kecil seperti saya.

Beberapa tahun kemudian, saat saya menjadi seorang mahasiswa, saya studi trip ke kota asal dimana saya tinggal waktu kecil. Segera setelah saya tiba, saya menelepon kantor telepon, dan meminta tolong disambungkan dengan bagian operator.
"Disini operator". Suara yang sama. Dan ramah tamah yang selalu saya dengar ketika menelpon sang operator.
Saya kemudian bertanya "Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"
Sempat hening sebentar.
Kemudian ada pertanyaan darinya "Apa jempolmu yang kejepit sudah sembuh?" Saya tertawa.
"Apakah itu Anda? Sepertinya waktu berlalu begitu cepat, ya"
Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan ketika saya masih kecil. Saya begitu menikmatinya.
Ia berkata serius, "Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu-nunggu kamu menelpon"
Saya ceritakan bahwa ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya kepadanya, apakah lain waktu boleh menelponnya lagi.
"Tentu, nama saya Saly"

Tiga bulan kemudian saya kembali ke kota asal, kota kelahiran saya, kota dimana masa kecil saya habiskan untuk menelpon sang operator. Tak sabar rasanya saya ingin menelpon Saly, sang operator yang sangat baik hatinya.
“Disini operator”. Terdengar suara yang sangat jauh berbeda dan asing ditelinga saya. Saya meminta disambungkan untuk bicara dengan operator yang namanya Saly.
Suara asing itu kemudian bertanya "Apa Anda temannya?"
"Ya, saya teman lama Saly."
"Mohon maaf atas kabar buruk ini, Saly beberapa tahun terakhir ini bekerja paruh waktu karena sering sakit-sakitan. Ia telah meninggal lima minggu yang lalu."
Sebelum saya meletakkan telepon, tiba-tiba suara itu bertanya "Maaf, apakah Anda bernama Paul?"
"Ya.."
"Saly meninggalkan sebuah pesan untuk Anda. Tunggu sebentar ya."
Ia kemudian membacakan pesan Saly "Tolong sampaikan pada Paul, bahwa Saya sekarang sedang menyanyi di yang dunia lain… Paul akan mengerti maksud dari kata-kata ini." Saya menangis sambil perlahan meletakkan gagang telepon. Saya sangat mengerti maksud dari kata-kata Saly. “Terima kasih atas semua waktu yang telah kau berikan untukku, Saly.”


[Renungan] Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari cerita di atas?