Suatu
hari datanglah seorang pria ke hadapan seorang Bijak. "Guru, saya
mempunyai banyak dosa. Saya telah memfitnah, membohongi, dan
menggosipkan orang lain dengan hal buruk. Kini saya menyesal dan ingin
memohon maaf lahir dan batin. Bagaimana caranya agar Tuhan mengampuni
semua kesalahan saya?"
Sang Bijak berkata, "Ambilan bantal di tempat tidurku. Bawalah ke alun-alun kota. Di sana, bukalah bantal itu sampai bulu-bulu ayam dan kapas didalamnya keluar tertiup angin. Itulah bentuk hukuman atas kata-kata jahat yang telah keluar dari mulutmu."
Meski
kebingungan, toh akhirnya ia menjalani "hukuman" yang diperintahkan
kepadanya. Di alun-alun ia membuka bantal dan dalam sekejap bulu ayam
dan kapas beterbangan tertiup angin.
Setelah
selesai, ia kembali menghadap sang Bijak. "Saya telah melakukan apa
yang Guru perintahkan. Apakah kini saya sudah diampuni?"
Jawab
sang Bijak, "Kamu belum dapat pengampunan. Kamu baru menjalankan
separuh tugasmu. Kini, kembalilah ke alun-alun dan pungutlah kembali
bulu-bulu ayam yang tadi beterbangan tertiup angin."
Renungan:
Tidak peduli berapa kali kita memohon maaf. kata-kata yang pernah keluar dari mulut kita akan menggema selamanya. Memang, sebuah permintaan maaf di hari yang fitri ini bisa mengobati banyak hal. Namun, agaknya kita juga harus mengingat, bahwa semua itu tak akan ada artinya, saat kita mengulangi kesalahan itu kembali.